Tuesday, September 2, 2008

Kasihan Sekali

03 Agustus 2008

Bukannya saya sok beda-bedakan.

Awal Ramadhan. Masyarakat Kairo memermak kota dengan berbagai hiasan. Ada lampion, lampu warna-warni, dan berbagai hiasan pesta. “Jadi beginilah puasa disini, bro,” ujar seorang kawan, saat sahur pertama di bulan Ramadhan. Kita makan sangat spesial waktu itu. Kedai to’miyyah sederhana, di bilangan H-10, menjadi pilihan terpaksa kita berdua. Lima lembar isy, tiga porsi tho’miyyah bil bidl, dan satu mangkok sedang fool siap dihidangkan. Seteko air dan gelas beraroma logam, tersedia juga diantara mereka. “Wuah, apa bakal begini ni tiap hari?,” pikirku saat itu.

Rasa sedikit kurang puas, muncul seketika saat itu juga. Tapi sedikit. Karena dalam hati saya ingat, diberitakan lewat sebuah media, masyarakat daerah saya saat ini telah mengonsumsi nasi aking. Sisa-sisa nasi yang telah dikeringkan, dijadikan sebagai makanan pokok. Memang, itu disana. Tapi dalam benak, menjebul rasa susah di kepala. Syukur, saat itu saya masih bisa makan.

Bukannya saya ini sok beda-bedakan. Bagaimana sih puasa di Muhafadhoh? Dan bagaimana pula puasa di Kairo. Sebetulnya, pada awalnya ini terkesan tidak penting. Nyatanya, masih banyak info lain, yang harusnya lebih layak untuk dibahas. Ah, apa pula itu semua? Saya jadi ingin membahas ini --puasa Masisir Kairo vs Muhafadhoh-- hanya sebagai lukisan kesan. Ternyata, saya mendapat banyak informasi penting, yang akhirnya merubah paradigma lama saya.

Masuk liburan musim panas, ada sebuah perkara, yang saya kira patut untuk dicari. Saya kira perkara itu tak lebih dari sebuah pengalaman. Iyah, mencari pengalaman jadi penting, tatkala pencarian itu menjadikan kita, mengenal hati nurani. Ada dimana sih kita? Siapa sih orang di sekitar kita? Dan apa unsur-unsur yang menjadikan kita ada? Barangkali, pertanyaan-pertanyaan seperti itu, akan membuat kita menjadi seorang pencari sejati. Pencarian yang saya lakukan, terkadang saya mulai dari makanan. Termasuk hidangan sahur awal ramadhan, yang saya alami dengan seorang kawan tersebut. Akhirnya, yah, jadilah pikiran saya membayangkan, aktifitas ramadhan Masisir Kairo vs Muhafadhoh.

Bukannya saya ini sok beda-bedakan. Tapi, pengalaman kadang membuat kita berada dalam kondisi susah untuk memilih. Memilih, jalan mana yang akan kita tempuh. Di Muhafadhoh, kalangan Masisir kerap kali kebingungan. Mereka tiap hari dapat undangan. Buka puasa bersma, didahului dengan do’a bersama pula. Bahkan, tak hanya kalangan Masisir. Seluruh Mahasiswa Asia Tenggara. Berbagai pihak, tak jarang membuat mereka bingung, undangan mana yang harus didahulukan. Lha, pengalaman ini yang belum saya temukan. Bingung memenuhi undangan.

Dengan sadar, saya berjalan mencari satu perkara itu. Luar biasa. Banyak perkara yang bisa didapat. Tak hanya satu perkara bahkan. Seperti yang saya ceritakan di awal. Disini, pelajaran penting yang patut saya renungkan. Baik, secara sederhana dapat kita fahami, bahwa kalau kita menjalankn perkara priori, tak sadar perkara apriori turut terlaksana pula. Banyak sebetulnya contohnya. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Ah, saya rasa hal ini tak begitu penting untuk kita bahas.

Bukannya saya ini sok beda-bedakan. Lagi-lagi berdasar pada pengalaman. Puasa di Muhafadhoh atau di Kairo sama saja. Tergantung juga siapa yang merasakan. Tiap orang, berdasar paradigma masing-masing, boleh memberikan komentar beda-beda. Paling tidak, pernah merasakan dua-duanaya, telah memberi satu nilai dalam pengalaman. Hanya saja, terlepas dari itu semua, buat saya ini masih dalam garis kewajaran. Maka, mari kita respon dengan sewajar-wajarnya pula. Perlu dicatat, berdasarkan pengalaman, semua butuh kedewasaan. Agar saya dan seorang kawan tadi, setelah balik dari sahur pertama bulan ramadhan, tak berujar, “Kasihan Sekali.”

(Nasruli Chusna)

0 comments:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Supported by ArchiThings.Powered by Blogger