Friday, August 29, 2008

Cerpen; Lima Puluh Piester

Oleh: Nasruli Chusna

Hyundai MATRIX itu melaju kencang. Empat pemuda terdapat di dalamnya. Seorang pemuda berbaju lengan pendek, duduk di depan memegang setir. Tiga lainnya menemani sambil menikmati alunan musik. Sesekali mereka bertiga berbincang dan melegakkan tawa. Ada saja yang mereka bicarakan. Kadang pengalaman pribadi. Kadang juga suasana menyebalkan, menunggu bis berjam-jam, saat berangkat ke kampus. Di belakang setir, Sanji, diam tanpa komentar. Membisu. Pandangannya lurus ke depan memperhatikan jalan. Dari bilangan H-10, mereka akan menuju Bandara Internasional Kairo.

Masih terdiam, Sanji menekan gas lebih dalam. Laju mobil bertambah kencang. Salah satu temannya, Ardan, merasa ini di luar kebiasaan Sanji. Mengemudikan mobil lebih dari 150 Km/jam. Ia mengdenguskan nafas berat sambil memandang Sanji.

“Pelan-palan San, nanti nggak jadi balik loh,” ujar Ardan mengingatkan.

“Eh, iyah, terima kasih Dan.”

“Untuk apa?”

“Telah mengingatkan dan bersedia mengantar.”

“Ah, apaan sih? Kayak sama siapa.”

“Emmm, kamu kok kelihatan gelisah San?, selidik Ardan.”

“Masa sih? Mungkin gugup aja kali, 4 tahun baru balik ke Indo.”

“Oh, ya udah kalo gitu.”

Perlahan, Sanji melonggarkan injakannya ke pedal gas. Jarak yang di tempuh tinggal beberapa Kilometer saja. Lima menit lagi, mereka akan sampai di depan pintu Bandara. Tiba-tiba, ia memutar kemudi. Sampai di tikungan, ia mengambil arah kebalikan. Kecepatan mobil menurun. Ardan dan dua temannya, Dodi dan Prama, memandang Sanji bersamaan. Mereka sama-sama mengernyitkan kening.

***
Acara perpisahan baru saja usai. Semuanya berlangsung khidmat. Prama tampil sebagai MC. Sementara Ardan dan Dodi membantu menyiapkan konsumsi. Teman-teman Sanji mengungkapkan pesan dan kesannya. Acara perpisahan Sanji sebetulnya tak begitu mewah. Hanya makan-makan saja, seadanya. Meski acaranya sederhana, sejak sore rumah Sanji telah ramai. Banyak teman yang berkunjung malam itu. Sekedar untuk mengucapkan salam perpisahan. Atau titip barang untuk keluarga di Indonesia.

Setelah acara perpisahan, keadaan rumah tak begitu ramai. Teman-teman Sanji banyak yang telah pulang. Tinggal Ardan, Dodi, Prama dan dua teman serumah yang masih ada. Sanji masuk ke dalam kamarnya. Ia ingin memeriksa kembali barang bawaannya. Sebuah koper dan tas jinjing, diletakkan berjejer di salah satu sudut ruangan. Ia segera meraihnya ketika Dodi telah berada di sela-sela pintu. Di tangannya, ia membawa sebuah kotak kecil dan sepucuk surat. “San, aku masih bisa nitip ini kan? Dari kemarin kan udah pesen,” pintanya. “Ya udah, kamu masukin saja ke tas ranselku, itu ada di samping meja, tapi dikasih nama biar nanti nyampaikannya gampang,” seloroh Sanji. “Oke BOS..!,” jawab Dodi seraya menuju tempat, dimana telah ditunjuk oleh Sanji.

Barang-barang titipan nyaris memenuhi ransel itu. Dodi hanya menemukan sedikit cela untuk memasukkan kotak kecilnya. Suratnya, ia masukkan dalam kantong kecil, bagian depan ransel. Ia merapikan kembali ransel itu, kemudian meletakkannya seperti semula. Di samping meja. Lantas, ia menghampiri Sanji dengan koper dan tas jinjingnya. “Masih ada yang kurang San?,” tanya Dodi kemudian. “Alhamdulillah, udah lengkap semua ni, tinggal ngerapiin aja,” ungkap Sanji tenang. Dodi membantu mengemas barang ketika Ardan dan Prama menjebul dari pintu bersamaan.

Ardan dan Prama ikutan nimbrung. Mereka mengambil barang yang akan dimasukkan dalam tas jinjing. Barang-barang itu diletakkan tepat di samping tas. Kemudian ditata berdasarkan sifatnya. Barang keras, diletakkan di bagian bawah. Begitu pula sebaliknya. Barang mudah pecah, diletakkan di bagian atas. Sementara itu, Dodi dan Sanji masih sibuk dengan kopernya. Mereka berdua hampir selesai. Setelah memasang kode kunci pada koper, Sanji duduk bersila dan tampak akan mengatakan sesuatu.

“Makasih banget ni, atas bantuan dan bimbingannya,” sela Sanji di tengah kesibukan ketiga temannya, mengemasi barangnya.

“Santai aja lagi San, kamu kan juga sering bantu kita selama disini,” tanggap Prama.

“Nggak gitu juga sih, tapi sebenarnya, saya tuu . . .”

“Kenapa?”

“Nggak tau juga ya, saya sebenarnya. . ., ah sudah lah, nggak apa-apa.”

“Sanji, Mafsul sekali dan rosib lagi bukan berarti kamu begok. Aku berdo’a, semoga kamu sukses, kawan. Aku tahu, kamu orang cerdas,” sergah Ardan membesarkan hati Sanji. Sanji hanya tersenyum mendengar pernyataan Ardan. Lalu, ia kembali melayangkan terima kasih, dan minta dituliskan alamat ketiga temannya.

***

Pagi itu, sebuah Hyundai MATRIX telah siap di depan imaroh. Koper, tas jinjing, dan ransel telah diturunkan. Satu-persatu barang-barang bawaan Sanji dimasukkan bagasi. Teman-teman serumah mengantar sampai ke mobil. Mereka semua tak ikut mengantar sampai Bandara. Hanya Ardan, Prama dan Dodi yang menyertai. Sementara dua temannya, memutuskan untuk menjaga rumah saja. Sanji menyalami dua temannya itu, kemudian berpelukan. Ia bergegas ke mobil ketika seorang gadis kecil, menjulurkan tangan dan menawarkan tissue kepadanya.

“Mandil waro’, ya ‘Amm..!”

“Maaf, saya sudah punya,” tandas Sanji, sembari menunjukkan 2 bungkus tissue, yang dibelinya di kios dekat rumah.

Gadis kecil itu kemudian menuju ke arah dua teman Sanji. Dengan cekatan ia menawarkan dagangannya. Beberapa bungkus tissue, seharga lima puluh piester tiap bungkusnya. Seorang teman Sanji dihampirinya. Namun, ia menolak dengan isyarat tangan. “Belilah satu saja,” lirih gadis kecil. Teman Sanji tetap menolak. Gadis kecil lalu menghampiri teman Sanji lainnya. Tapi ia malah pura-pura tak tahu. Gadis kecil itu memandang ke arah Hyundai MATRIX ketika Sanji dan ketiga temannya baru saja masuk. Dodi dan Prama duduk di jok belakang. Sementara Ardan, duduk di jok depan, berdampingan dengan Sanji sebagai pengemudi.

“Mandil waro’, ya Amm..!, ” gadis kecil menawarkan pada Dodi dan Prama. Mereka berdua saling melirik. Prama yang lebih dekat dengan gadis kecil lantas berkata, “kita berdua juga sudah punya dik”. Gadis kecil tak menanggapi kata-kata Prama. Ia maju kedepan mendekati Ardan. Tangan kecilnya mengulurkan tissue ke hadapan Ardan. Ardan hanya menyimpulkan senyumnya. “Maaf, lain kali saja,” tukas Ardan pada gadis kecil. Gadis kecil mengitarkan matanya pada Sanji. Lalu ia meragu. Ia mengurungkan kakinya beranjak ketika terdengar suara memanggilnya.

“Dik, ini untuk kamu,” kata Sanji sambil mengulurkan selembar 20 pound pada gadis kecil.

“Ada uang kecil nggak? Saya tak punya kembalian,” tanya gadis kecil.

“Ini buat adik, saya ikhlas.”

“Tapi saya jual tissue, kata Ibu tak baik menerima tanpa memberi jasa. Kalau anda ingin memberi, belilah barang dagangan saya.”

“Nggak apa-apa dik, terima saja. Ammu ikhlas kok.”

“Maaf, saya tak bisa menerima pemberian Ammu. Kecuali ditukar dengan tissue saya.”

“Ya sudah, tukarlah uang ini dengan tissue-tissue Adik. Ambil ini..!”

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Satu bungkus tissue saya harganya lima puluh piester. Sekarang, saya hanya bawa 20 bungkus. Kalau Ammu ingin membeli semuanya, berilah 10 pound saja. Saya tak punya kembalian, jika uang Ammu 20 pound.”
“Tapi dik . . .,” tandas Sanji ketika gadis kecil hendak meninggalkannya.

“Hei dik, ini ada 10 pound. Mana tissue-tissuenya.”

“Oh, ini. Terima kasih, Ammu,” ucap gadis kecil sambil menyerahkan 20 tissuenya. Ia kemudian menerima selembar 10 pound. Mukanya berseri. Mulutnya mengembangkan senyum penuh kebahagiaan. “Siapa nama kamu dik?,” tanya Sanji kemudian. Gadis kecil hendak berlari, lalu mengenalkan dirinya dengan lantang, “Amerah.”

***

Sanji mengemudi dengan tenang. Hyundai MATRIX terus melaju. Lajunya membelah jalanan H-7 menuju masjid As-Salam. Ia masih diam. Tak ada yang berani buka pembicaraan. Dodi malah membuka buku kecil di saku celananya. Sementara Prama, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ardan membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.

“Lima menit lagi take off lo San, barang apa yang tertinggal, kenapa nggak minta tolong diantar saja?”

“Nggak ada yang ketinggalan Dan, semua sudah siap.”

“Maksud kamu?”

“Aku nggak jadi balik, Dan. Belum punya bekal.”

“Serius kamu San, kenapa?”

“Serius lah. Karena aku nggak mau kalah dengan Amerah,” jawab Sanji mantap. Ia konsentrasi kembali pada aktifitasnya. Dengan kecepatan sedang, ia hati-hati mengemudikan mobil. Ia baru saja melewati Masjid as-Salam. Mobilnya kini diarahkan menuju pasar mobil. Sebentar lagi ia akan sampai di rumahnya kembali.

0 comments:


Blogger Templates by Isnaini Dot Com. Supported by ArchiThings.Powered by Blogger